Sabtu, 09 September 2017

Review Jam Tangan Casio AE-1000W-1AVDF

Jadi cerita awalnya kembali ke masa-masa SMA.
Bukan karena masa itu sering disebut-sebut sebagai masa yang paling indah, namun karena masa-masa itu adalah masa dimana jam tangan G Shock adalah jam tangan yang paling trendi.
Iya, trendi.

Jaman itu adalah era Nokia seri 3 baru muncul, dan mulai naik daun. Aksesoris cowo dahulu cukup banyak terbatas, mulai dari gelang, topi, ikat pinggang (+ gir motor untuk tawuran) juga banyak. Dan ga pake G Shock kayaknya kurang cool.
Sayangnya waktu itu nyokap beliin jam tangan QnQ, bukan G Shock T_T
OH IYA, aksesoris yg dulu gue pake adalah rantai dompet, dan dulu gue cukup dikenal dengan itu, bahkan hingga masuk kampus. *haha.

Masuk kampus, hingga kerja, gue ga begitu mikirin soal jam tangan karena pada periode 1999 hingga 2010, handphone menurut gue adalah sebuah aksesoris, yang lengkap dengan penanda waktu, games, SMS, telepon, radio, hingga senter.

Tahun 2010 gue sempet beli jam tangan quartz bergaya klasik bermerk Excellanc yang dahulu sekali, pernah gue review (link disini). Waktu itu beli karena desainnya yang klasik, ukurannya cukup besar dan harganya sangat terjangkau. 
Overall gue cukup puas dengan ukurannya, visibilitas dan stylenya.

Lompat ke tahun 2016 ketika e commerce di Indonesia mulai booming, dan masifnya iklan Lazada di mana-mana (man, they are good on IMC) membuat gue tertarik dengan jam tangan Casio tipe AE-1000W-1AVDF, 

Naksir? Beli dong! Apalagi waktu itu pertama kali punya kartu kredit.
Singkatnya, I've pulled the trigger.



Setelah paket diterima, lihat buku panduannya yang lumayan tebal, ga dibaca. 
Jam tangan langsung dipakai dan diperhatikan secara seksama, ternyata model ini GA MASUK DALAM SPESIES G SHOOOOOCK! 
*baru sadar.

Setelah beli, penyesalan datang. 
"Yang ini kok ga ada tulisan G Shocknya ya??! Gue pengennya G Shock!!"
.
..
...
Namun setelah beberapa hari dipakai, kok malah jadi suka ya?
Berikut adalah alasan kenapa gue (jadi) suka sama jam tangan ini:

KELEBIHAN:
  • Harrrrrrrga terrrrrrrrjangkau, dibawah Rp 400 ribuan. 
  • Basic feature (dual time, stopwatch, countdown timer, five time alarm)
  • World time visualisation
  • Analog time visualisation
  • Ukurannya "cukup" sesuai diameter pergelangan tangan
  • Visibilitas yang tinggi, dapat terlihat dengan jelas baik di bawah matahari langsung maupun menggunakan bantuan lampu berwarna amber (oranye).
Sekarang gue cukup senang dengan membeli jam tangan ini.
Menurut gue, countdown timer itu lebih berguna ketimbang stopwatch, terutama untuk Pomodoro Technique yang membantu gue fokus dalam bekerja.
Lihat apa itu Pomodoro Technique disini.

Visualisasi world time dan analog display kadang terasa bermanfaat namun tak jarang terasa berlebihan. Kenapa ada analog dan digital display? buang-buang fitur.
Solusinya adalah sering analog dan digital display ini gue set untuk dua time zone yang berbeda.
Gue orang yang lebih suka tampilan visual dan tampilan world time tersebut cukup asyiklah untuk membuat jam tangan ini dipencet-pencet/gonta-ganti time zone hehe.

KEKURANGAN:
Kekurangan dari jam tangan ini hanya satu: permukaan kaca yang rata.



Permukaan kaca dengan tepian yang rata menyebabkan jam tangan ini cukup rawan terkena tepian meja, tergores dinding, terantuk pintu atau terjatuh dari ketinggian yang dapat menyebabkan timbulnya garis-garis halus (swirl) atau mungkin retak/pecahnya kaca tersebut. Kaca depannya juga bukan kaca, namun semacam bahan dari plastik/akrilik yang terasa tipis bila diketuk dengan jari.



Swirl yang terbentuk terlihat jelas apabila dilihat dengan menggunakan sudut pandang tertentu dan melawan arah sumber cahaya. Secara umum visibilitas kaca depannya masih cukup baik.



Meskipun jam tangan ini tergolong jam tangan beater, atau jam tangan yang untuk digunakan sehari-hari, jatuh, tergesek sesuatu dan terkena air tanpa penggunanya khawatir jam tersebut rusak, yaaa semestinya Casio membuat desain produk dimana tepian kaca (sedikit) lebih tinggi daripada permukaan kacanya. Jadi kaca depan bisa "sedikit" aman.


Final verdict: harga terjangkau, tampilan oke, fitur standar membuat gue puas dengan jam tangan ini.

Minggu, 16 Oktober 2016

Review Sepeda Jefferys Bike London Taxi CRB L 26 inch-Cream

Sebenarnya sepeda ini bukan milik gue. Ada orang yang cukup baik membeli, menginapkannya di rumah gue dan meminjamkannya hingga waktu yang (sepertinya) tak terbatas. Mumpung bisa direview, langsunglah malem-malem ngumpulin bahan. Huahahahahahahaha...


Jefferys Bike London Taxi CRB L 26 inch Cream


Desain: London Taxi CRB ini memiliki model city bike dengan low frame sehingga memudahkan pengguna untuk naik, turun maupun berhenti dengan aman dan nyaman. Sepeda ini cocok untuk pria maupun wanita yang ingin tampil chic, dandy or vintage. You named it.

Spesifikasi: London Taxi CRB Cream ini memiliki:
  1. 6 speed Shimano shifter dan rem kanvas depan-belakang. Fitur standar untuk sepeda city bike.
  2. Sepeda ini dilengkapi dengan Front and rear cargo rack yang cukup mumpuni. Cargo rack ini dapat menjadi modal untuk membeli aksesoris lain seperti keranjang sepeda untuk dipasang di bagian depan, atau membeli boncengan anak di belakang. Anak tidak termasuk.
  3. Chain protector, untuk menghindari rok atau celana panjang terkena rantai sepeda,
  4. Stang sepeda model porteur yang dibentuk melengkung ke arah belakang untuk menampung cargo rack di bagian depan.
  5. Seatpost dengan pegas. Yes, seatpost alias jok pengendara ada pegas di bagian bawah sehingga meskipun sepeda ini rigid namun pengendaraan cukup nyaman untuk jalanan ibukota.
  6. Bicycle stand dengan kunci, sehingga sepeda ini tidak mudah roboh.
  7. Bobot: belum sempat ditimbang namun terasa bahwa sepeda ini memiliki berat sekitar belasan kg. Cukup berat.
  8. Jefferys sangat serius dengan sepeda ini hingga menggunakan steel pedal ketimbang plastik. Make sure those pedal doesn't hit your tibia. :D

Riding position: Posisi berkendara yang tegak didukung dengan porteur handlebar membuat sepeda ini cukup nyaman untuk digunakan berjam-jam tanpa takut sakit leher maupun punggung. 

Harga: Menurut pengakuan pemiliknya, sepeda ini dibeli pada saat diskon di sebuah mall ibukota, dengan harga sekitar Rp 3 Jutaan. Sementara apabila kita lihat di website Bhinneka, sepeda ini memiliki harga sekitar Rp 4 Jutaan. Harga sepeda cukup terjangkau meskipun tanpa diskon.


Jefferys Bike London Taxi CRB L 26 inch Cream

Pilihan lain/Kompetitor: Merk Polygon juga membuat sepeda city bike dengan nama Polygon Sierra. Jika dibandingkan antara Jefferys dengan Polygon, maka ada beberapa hal yang membedakan keduanya, yaitu:
  1. Harga: Polygon memberikan harga lebih murah hingga 50%.
  2. Fitur: Polygon memberikan bonus berupa keranjang sepeda depan dan bel sepeda. Bahkan Polygon Sierra Deluxe Sports Lady memiliki front fork, 21 speed dengan harga yang nyaris sama! :O
  3. Desain handlebar: Jefferys memiliki bentuk handlebar porteur yang berbeda bila dibandingkan dengan Polygon sehingga riding experience Jefferys berbeda dan sepertinya lebih nyaman ketimbang Polygon.
  4. Branding: Jefferys memiliki signage London Taxi pada frame nya, terlihat jelas dan tegas. Which is somehow membuat sepeda ini terasa seperti sepeda asal inggris sungguhan. 
Kekurangan: Jefferys bike ini menurut gue memiliki dua kekurangan, yaitu:
  1. Tidak ada bel sepeda. Aneh. Padahal bel sepeda itu semestinya fitur standar.
  2. Front cargo rack terlihat miring (lihat foto). Gue ga tau apakah memang dibuat seperti itu ataukah memang kesalahan produksi? Tanya aaah ke yang punya.

Review Sepatu Black Master Zalora vs Prodigo Kutai Black Bandung

Setelah bertahun-tahun tidak ngeblog, akhirnya balik lagi gue ke dunia ini.
Agak susah mencari bahan untuk ditulis karena gue pengennya menulis apa yang gue tau, dan topik tersebut ada di luar urusan kantor gue. Makanya beberapa blog terdahulu lebih membahas mengenai media sosial atau review sepeda, sebuah hobi yang kebetulan masih gue jalanin.

Seiring dengan kesibukan bersepeda berangkat dan pulang kerja di ibu kota, maka kebutuhan pernak perniknya semakin banyak. Salah satunya adalah sepatu. Beberapa minggu yang lalu gue disibukkan dengan urusan membeli sepatu karena setelah melalui pertimbangan panjang, sepatu untuk naik sepeda idealnya adalah sepatu kanvas yang warnanya monokromatik (hitam-putih), karena sepatu ini banyak dibebani dengan urusan outdoor, namun tampil cukup formal untuk rapat dalam ruangan.

Sepatu pertama yang gue beli adalah sepatu Black Master dari Zalora dan sepatu kedua adalah sepatu Prodigo dengan model Kutai Black buatan Bandung. Berikut adalah reviewnya:

1. Model:
Kedua sepatu memiliki model yang serupa yaitu sepatu kets dengan bahan dari kanvas, namun ada beberapa hal yang membedakan dua sepatu ini.
Black Master memiliki aksen leather warna cokelat yang membuat sepatu ini ga ngebosenin. Namun inner layernya hanya menggunakan bahan kain berwarna abu-abu. Sementara Prodigo bergerak lebih jauh dengan menggunakan inner layer motif batik, designed cushion dan aksen leather pada tepian sepatu. Babak ini dimenangkan oleh Prodigo.

Bagian Dalam Sepatu Black Master

Bagian Dalam Sepatu Prodigo Kutai Black





Bagian Dalam Sepatu Prodigo Kutai Black


Bagian Luar Sepatu Prodigo Kutai Black
2. Kerapihan: finishing Sepatu Black Master bisa dibilang dibawah rata-rata karena bagian uppersole nya ada yg kurang rapih. Sementara sisi dalam jahitan lumayan rapih. Satu hal yang mengganggu adalah lis putih yang ada pada solnya ini bukanlah satu kesatuan namun berupa sambungan yang setau gue semua sepatu yang pernah gue beli tidak ada yang memiliki bentuk seperti ini. Untuk Sepatu Prodigo produknya cukup rapih, jahitan terlihat rapih. Babak ini dimenangkan oleh Prodigo.


Tampak Atas Sepatu Black Master
Bagian Luar Sepatu Black Master


3. Kekuatan: uppersole Sepatu Black Master kuat dan tebal. Bagian depannya tebal sehingga tidak melempem/tepos. Sayangnya kekuatan ini tidak diikuti dengan sol sepatu. Sol sepatu Black Master sangat lemah, karena dibuat dari dua bagian bahan, bukan satu kesatuan sol sepatu seperti yang umumnya kita liat di sepatu kets. Sementara Sepatu Prodigo solnya terdiri dari satu kesatuan dan terlihat pula ada jahitan benang yang mendukung sepatu ini. Jelas babak ini dimenangkan oleh Prodigo.

Sol Sepatu Black Master


4. Harga: untuk harga Rp. 238.000 yang sudah termasuk ongkos kirim, sepatu Black Master harganya cukup terjangkau. Sementara Prodigo Kutai Black memiliki harga Rp. 240.000 dan belum termasuk ongkos kirim sebesar Rp. 10.000 untuk ongkir ke Jakarta, sehingga total harga menjadi Rp. 250.000. Babak ini berakhir seri.

5. Kemasan:

Kemasan Sepatu Prodigo

Sepatu Prodigo dikemas dengan apik menggunakan boks sepatu yang memiliki tali, sehingga bisa ditenteng layaknya koper. Sementara Sepatu Black Master boksnya standar, biasa banget. Bahkan waktu gue terima barang dari kurir, boksnya penyok sedikit, namun isi masih aman. Babak ini dimenangkan oleh Prodigo.
6. Keputusan: Setelah bertarung neck to neck, komparasi antara sepatu Prodigo vs Black Master dimenangkan oleh Prodigo dengan skor 5-1. Model masa kini, kualitas bagus, harga terjangkau. Thumbs up.

Catatan tambahan: Untuk sepatu Black Master adalah tidak layak dibeli karena solnya sangat rapuh. Kalo elu liat produknya di Zalora, ada review dari orang bernama Bagus Hariadi, which is gue. Review itu dibuat beberapa hari setelah gue terima sepatunya, waktu sepatunya masih kinyis-kinyis. Jadi untuk longterm test baru ada ya sekarang ini. Review yg gue submit sebelumnya itu dibuat beberapa saat setelah sepatu diterima. beberapa minggu kemudian solnya jebol karena sol tidak menempel kuat/bukan satu kesatuan. gambar yg ditampilkan tidak menampilkan sisi dalam sol yg menunjukkan adanya sambungan which is tidak lazim untuk sepatu pada saat ini. untuk lebih lanjut silahkan buka review gue di Zalora disini. Kebetulan nama sepatunya sudah berubah menjadi Black Ophelia.

Review sepatu Black Master di Zalora



Jumat, 10 Juli 2015

Puasa 1436 Hijriyah

Tak terasa sudah sampai di puasa hari ke 24 di tahun 1436 hijriyah atau tahun 2015. Entah kenapa tahun ini puasa terasa sangat cepat berlalu, ketimbang tahun-tahun sebelumnya.

Satu hal yang jelas terasa berbeda dari tahun-tahun sebelumnya adalah tahun ini Saya tidak membeli kurma sebutir pun :D
Tapi takjil di Bazar Makanan Pasar Benhil hampir setiap hari dibeli.

Sebelum puasa hampir setiap hari kita dibombardir mengenai citra puasa yang hedon, berbuka puasa dengan berbagai macam hidangan, kolak, gorengan hingga cendol durian tersedia dan mungkin semua orang menginginkan tahun ini biasa mengalami puasa yang sederhana, dan sayangnya tidak bisa.

Peer pressure itu selalu ada, entah teman kantor, pasangan, anak atau orang tua sendiri yang menyediakan takjil berlimpah untuk menjamu anak, menantu dan cucu yang sedang berkunjung ke rumah. Meskipun sang tuan rumah dengan sadar ingin berpuasa secara sederhana, namun dengan adanya tamu maupun anggota keluarga yang datang membuat tuan rumah akan secara sadar membeli makanan secara berlebihan, karena tuan rumah berpikiran "ah, beli makanan lebih karena sedang ada tamu....."

Melonjaknya jumlah permintaan juga akan meningkatkan jumlah makanan yang terbuang (food waste). Saya selalu sedih jika membuang makanan. Karena dalam makanan itu tidak hanya ada nilai komersial (uang), namun juga ada ide, effort, kreativitas, dan semangat si pemasak yang sayangnya tidak berhasil Saya hargai.

Sabtu, 13 September 2014

Apakah semua perusahaan membutuhkan media sosial?

Apakah semua perusahaan butuh media sosial?

Pertanyaan menarik, mengingat booming media sosial yang terjadi beberapa tahun kebelakang membuat semua orang, mulai dari orang bahkan bayi hingga kucing pun punya akun media sosial. 

Lalu bagaimana dengan perusahaan? Istilah penulis, perusahaan itu adalah Makhluk rasional yang memiliki berbagai karakter/wajah (staf bawahan hingga top manajer punya persepsi tersendiri mengenai perusahaannya mulai dari senang, rasa underdog, jiwa pemimpin dan sebagainya). Perusahaan adalah makhluk rasional karena memiliki sistem, prosedur dan perhitungan khusus/terstruktur dalam membuat keputusan, bahkan untuk corporate action kecil seperti pembelian alat tulis perlu rapat yang panjang.
Apakah makhluk rasional ini perlu media sosial?

Jawabannya adalah tergantung dari segmentasinya. Jika perusahaan tersebut memiliki retail customer (B2C) maka memiliki media sosial menjadi wajib. Customer yang pada dasarnya adalah manusia adalah makhluk yang irasional, dan ekspresif. Customer tidak bisa dikontrol, tapi perusahaan bisa mengintip apa yang dibicarakan atau dikeluhkan oleh konsumennya dan media sosial milik perusahaan bisa melokalisir/menurangi dampak buruk dari permasalahan sebelum meledak lebih lanjut.

Lalu bagaimana dengan perusahaan dengan customer corporate (B2B)? 
Jadi istilahnya makhluk rasional bertemu dengan makhluk rasional, sehingga gaya bahasa maupun metode komunikasi cenderung terstruktur dan menggunakan jalur resmi (surat, email hingga tatap muka). Oleh karena itu penulis menilai bahwa fungsi media sosial tidak terlalu signifikan.

Apakah tukang gorengan perlu media sosial?
Menjual gorengan juga usaha, dan kasus Ini menarik, karena ada rekan dari penulis yang punya usaha goreng pisang dan dia mempunyai Facebook fanpage. Penulis merasa ada batas-batas kabur dimana usaha kecil tidak/perlu memiliki akun media sosial. Dan perlu dibuat batas tegas untuk mengurangi fenomena menjamurnya akun media sosial namun tanpa isi/subtansi.

Penulis menilai bahwa usaha kecil dengan jangkauan wilayah minimal perkotaan atau setingkat daerah tingkat II barulah layak untuk memiliki akun media sosial, mengingat salah satu fungsi media sosial adalah untuk meningkatkan reach/jangkauan.

Jadi setelah membaca tulisan diatas, bagaimana anda menempatkan bisnis/perusahaan anda didepan customer?

Sabtu, 09 Agustus 2014

Polygon Metro 3.0 Longterm Test

Yes, judulnya bahasa inggris tapi isinya bahasa campur aduk indonesia. 
Waktu itu (di)beli(in) sepeda Polygon Metro 3.0 aseli dari dealernya. Kebetulan Metro 3.0 sekarang sudah direpackage (ganti nama) menjadi Urbano. Versi yang sekarang kelir dan stiker nama lebih ceria dan harganya nambah dikit (efek inflasi mungkin). Setelah 3 tahun dipakai dan kayaknya jarak tempuhnya mendekati 1000 km, inilah hasil reviewnya.



1. Karet Handlebar sobek
Handlebar jadi bagian yang selalu dipegang, makanya karet handlebar kadang bisa terpelintir dan sobek. Jaman gue duluuu naik sepeda, gear shifternya model dorong, jadi karet handlebarnya kaku. Mungkin kita bisa berkaca ke handlebar motor, sisi kiri mesti firm, yang kanan harus ikut melintir (grip gas) dan di Metro 3.0 gear shifternya model pelintir (twist). 
Solusinya: handlebar grip kiri bisa di lem, tapi nanti kalo mau ganti handlebar grip bakal merepotkan.



2. Munculnya karat di mudguard roda belakang
Karat yang muncul ini bisa berasal dari berbagai sumber: 
  • Sisa air/kotoran yang menempel dan tidak dikeringkan/bersihkan, 
  • Material berkualitas rendah sehingga mudah berkarat.
Solusi: rajin-rajinlah mencuci sepeda, dan ganti ke mudguard yang anti karat.




3. Speed yang terbatas
Kebanyakan rute yang gue lalui terdiri dari jalan raya yang sepi hingga sangat ramai. Sepinya jalan membuat kendaraan lain (motor, mobil) bisa melaju lebih cepat, dan hal ini membuat sepeda dengan 1x6 speed ini kewalahan. Dengan 6 speed diperkirakan top speednya mencapai 30 km/jam. 
Kenapa seli perlu ngebut? Yah kadang pesepeda butuh akselerasi cepat saat di jalur yang menyatu atau ketika akan menyalip kendaraan yang lain. 
Kalo pas macet sih gue malah merasa aman. *kode.
Solusi: tambah gear ato nabung stamina untuk saat-saat yang diperlukan.

4. Tidak ada shock absorber depan 
Kalo elu pikir naik sepeda itu bakal nyaman dan menyenangkan, salah! 
Apalagi di ibukota, jalan banyak undak-undakan gorong-gorong, lobang bahkan speedbump ato polisi tidur bikin city cycling itu lebih bahaya. Apakagi kalo tambalan aspal dari Dinas Pekerjaan Umumnya jaaaaaauh lebih tinggi dari tutup selokan itu. Hiiiii... 
Makanya gue rasa gue butuh front shock buat melibas semua lobang. Kalo menimbang Metro 3.0 yang ini, hantaman (bukan bantingan) yang keras bisa berdampak ke jari-jari, velg, fork bahkan nyawa pesepedanya.  
Solusi: ganti sepeda, ato ganti front shock aja ato set tekanan ban jadi medium, biar hantaman jalan pun bisa agak teredam.


5. Jok yang berputar
Bahan dasar Polygon Metro 3.0 sepertinya dari aluminium, ringan tapi tidak sekeras besi. Ditambah pula dengan pergerakan pengendara membuat grip kursi kadang berputar/melintir sendiri. Tambah lagi kalo ada kotoran yang nyempil. Semakin sering dipakai makan gripnya dirasa kurang kuat memegang tangkai jok. Sampai saat ini (untungnya) belum kejadian amblesnya jok sepeda.
Solusi: ganti grip kursi ato tangkai dudukan jok, tambahkan penyisip biar ga gerak atau usahakan mode mengendarai pengendara (riding style) ga rusuh.
6. Jok belakang yang (nyaris) tak berguna
Jok belakang dengan ketinggian kira-kira 50 cm dari bawah, kira-kira apa fungsinya? 
Membonceng orang? tidak. 
Membonceng anak-anak? bisa, asal ada child seatnya. 
Menaruh barang? Bisa, asal ada karet pengikatnya. Karet inilah yang jadi nilai jual jok belakang Polygon Urbano, adik dari Polygon Metro.

Yah, itulah kritik gue terhadap sepeda Polygon Metro 3.0. 
Kalo soal keuntungan Metro 3.0, gue suka karena desainnya kompak, dimensi kecil, wheel base pendek cocok buat nyelip-nyelip di jalan sempit dan macet.

Senin, 07 Oktober 2013

JERIN Event 2011, John Rabe movie screening



Blogging about Jerin (personal opinion)

Jerin Festival 2011 (John Rabe).


Pertama tau acara ini gara-gara diajak ma temen yang kerja di Ekonid “eh ada acara nonton film jerman gratis nih di XXI Epicentrum Walk, mau ikut ga?”
“Gratis?”
“Gratis... Palingan cuma perlu konfirmasi aja berapa orang yang ikutan.”
Acaranya namanya apa gitu, waktu itu lupa sih hehe, isinya ya nonton bareng film jerman di XXI Epicentrum Walk.
Karena gue dulu alumni training InWEnt, organisasi jerman di bidang pelatihan non formal dan lulusnya masih baru (2 tahunan) maka sense of Deutschland bleibt noch im Herz.

Nyampe disana, kira-kira setengah jam sebelum acara masih sepi, baru segelintir orang yang dateng. Beberapa jam sebelum pintu dibuka, ramailah suasana. Pada awalnya seat penonton diatur sesuai dengan nomor yang tertera pada tiket, namun setelah masuk dan penonton terus masuk maka sistem penomeran tempat duduk jadi tidak berlaku. Kalo ga salah ada penonton yang duduk di tangga lorong deh.
Antusiasme penonton cukup tinggi, maka filmnya dimulai.

John Rabe adalah film dokumenter yang berasal dari kisah nyata John Heinrich Detlev Rabe, seorang manager pabrik Siemens di Nanjing  pada era Perang Dunia II, pada saat itu Jerman adalah sekutu dari Jepang, maka pabrik Siemens itu “tergolong“ aman dari serangan tentara Jepang. Namun tentara Jepang kian curiga akan eksistensi pabrik tersebut karena diduga menyembunyikan pasukan tentara China.Filmnya seru, dengan adegan perang yang cukup realistis dan lebih cocok untuk ditonton oleh penonton dewasa.
Konflik fisik dan emosi John Rabe terhadap keagresifan tentara Jepang membuatnya harus berputar otak, apalagi sebenarnya John Rabe tidak mendukung Hitler, memelesetkan "Heil Hitler" menjadi "Heil Hinter" (bokong).

Setelah pemutaran film, ada wawancara singkat sutradara film Florian Gallenberger Yang dipandu oleh teh Nia Dinata. Menurut Florian flm tersebut beberapa adegannya tidak sesuai dengan realita pada saat itu dan menarik juga untuk disimak bahwa saat film tersebut dibuat, banyak warga senior kota Nanking yang masih mengingat jasa John Rabe dalam melindungi rakyat kota Nanking dari serangan tentara Jepang.
Beberapa adegan tidaklah senyata aslinya, dramatisasi diperlukan, eksploitasi kekejaman tentara Jepang pada beberapa adegan tidaklah sekejam di dunia nyata.
 
Sayangnya di JERIN event 2011 ini gue ga sempet nonton film-film lain (kalo ga salah ada 4-5 festival nonton film berbahasa jerman gratis).
Well done JERIN and other participating agency to hold such event.