Its been a long long time that I havent written any blog in bahasa Indonesia. Well, if you are foreign reader, try to put it in google translate or ask someone to translate it for you :D
Tahun ini akan banyak pilkada datang silih berganti di Republik Indonesia, mulai Pilkada DKI Jakarta bulan Juli ini, Pilkada Kalimantan Barat, Jawa Barat dan Riau tahun 2013 serta klimaksnya Pemilu Legislatif dan Presiden-Calon Presiden di 2014. Pemilihan kepala daerah pada dasarnya adalah salah satu kegiatan marketing, yaitu bagaimana cara calon pemimpin membangkitkan kesadaran (
awareness), menarik simpati (
attract), membuat para pemilih memilih calon pasangan tertentu (
acquire), mempertahankan preferensi/loyalitas (
retain) dan meningkatkan loyalitas pemilih (
grow) dimasa depan. Istilah-istilah tersebut saya rasa cukup akrab ditelinga para Marketer.
Marketing tidak hanya terbatas menjual barang dan jasa saja, seseorangpun dapat "dijual" melalui metode marketing seperti Barack Obama, Oprah Winfrey ataupun Syahrini yang selalu membuat berita dimedia elektronik. Oke, cukuplah menyebut nama mereka, kembali ke urusan marketing dalam pilkada.
Dalam pilkada terkadang ada situasi dimana petahana (
incumbent) atau seseorang yang masih menjabat/berkuasa turut serta dalam pemilihan berikutnya, sementara dalam dunia marketing hal ini dapat dianalogikan menjadi suatu produk atau jasa yang menjadi mayoritas/
market leader. Bagaimana caranya
new entrant dapat mencuri
market share dari
market leader?
Eh tapi bukan cuma mencuri, melainkan bagaimana caranya menyingkirkan sang
market leader! Karena dalam pilkada tidak ada gunanya menjadi
market nicher atau
follower bila dibandingkan dengan marketing barang dan jasa.
Dan sekarang saatnya dimulai sesi ilmiah
Rossiter (2011) menyatakan bahwa trik agar
new entrant dapat merebut
market share dari
new entrant yang masuk lebih awal ada tiga: (1) menghadirkan produk yang superior, atau jika tidak bisa (2) menghabiskan usaha lebih banyak dalam promosi dan (3) menggunakan saran promosi lebih efektif.
Apa definisi superior dalam pilkada?
Latar belakang pendidikan?
Pekerjaan? Jabatan?
Pengalaman memimpin?
Kekayaan?
Definisi superioritas menjadi nisbi, karena semua calon memiliki latar belakang yang berbeda-beda, sama seperti kita membandingkan iPhone 4S dengan telepon genggam dengan harga Rp 300 ribu. Apakah konsumen benar-benar memerlukan iPhone 4S sementara digunakan hanya untuk telepon dan SMS?
Tergantung kepada keperluan konsumen.
Superioritas dapat didefinisikan sebagai tingginya jumlah konsumen produk yang bersangkutan. Semakin tinggi jumlah konsumen diterjemahkan semakin disukai suatu produk dalam kombinasi
cost-benefit (semakin rendah
cost dan semakin tinggi
benefit).
Dalam hal pilkada, jumlah konsumen dapat diasosiasikan menjadi jumlah pendukung. Apakah jumlah pendukung pada saat kampanye sama dengan jumlah pemilih pada hari H nanti? Belum tentu.
Masih ada faktor
cost-benefit yang masih ditimbang-timbang para pemilih untuk memilih si X, Y atau Z.
Cost-benefit dalam pilkada bukan hanya waktu yang tersita untuk datang ke TPS, melainkan juga resiko jangka panjang apabila produk yang dipilih tidak dapat memenuhi ekspektasi konsumen ataupun manfaat yang timbul setelah
purchasing/pencoblosan/pencontrengan.
Masih ingat lagu Cokelat "Lima Menit Untuk Lima Tahun"? Mungkin judulnya bisa diubah menjadi "Lima Menit Menyesal Lima Tahun".
Pilkada bukanlah produk yang dapat dengan mudah diganti seperti sabun atau makanan, pilkada merupakan produk unik yang dibeli satu atau dua kali namun memiliki efek jangka panjang yang terkadang tidak memiliki dampak apa-apa terhadap konsumennya.
Dalam hal ini, tingkat apatis konsumen menjadi tinggi.
Superioritas menjadi relatif, apabila para calon memiliki kaliber jabatan, pendidikan dan pengalaman yang sangat tinggi, ataupun sama sekali tidak atraktif dimata pemilih. Sehingga para calon harus menghabiskan sumberdaya untuk berpromosi alias kampanye.
Bagaimana kelanjutan analisis Rossiter dalam perspektif pilkada? Tunggu kelanjutan tulisan ini hehe ;)
(kok berasa kayak cerpen ya?)